Written By Unknown on Jumat, 01 November 2013 | 16.44
By: Okinohara
Menjelang Hari Raya Idul Adha begini banyak banget orang jualan
lampion. Benda yang menyenangkan itu kini marak memenuhi pinggiran
jalan. Tokoh kartun langsung jadi figur si lampion. Di sepanjang jalan
tadi, aku melihat banyak 'Naruto, Spong Bob, Angry Bird, ada juga
pesawat mobil, layang-layang'' dan masih banyak lagi.
Ku kayuh
sepedaku pelan-pelan. Pingin banget rasanya beli lampion untuk adik. Dia
pasti seneng banget aku beliin. Pulang sekolah ini aku sengaja
menyusuri jalan yang banyak di jual lampion. Biar bisa milih yang Adik
suka. Aku lihat satu persatu dengan teliti dan seksama. Subhanallah,
banyak banget macamnya sampe bingung pilih yang mana....
Nah,
yang model pesawat besar dan bagus designnya. Adik pasti suka itu. Aku
bolak balik bagus banget. Apalagi setelah dipasang lampunya. Mirip kaya'
pesawat beneran. Tapi sayang uangku tak cukup... Mendoba melihat
yang lain. Ada yang bentuknya layang-layang. Lumayan bagus dan harganys
sesuai dengan uang yang ada di kantongku. Ah, Adik nggak suka
layang-layang.
Pantang menyerah. Baru tiga tempat. Aku kayuh
sepedaku lagi dan yes, ada satu lapak yang lebih banyak modelnya. Aku
turun dari sepeda dan langsung survey uuupppsss
survey...bahasanya...nggak apa-apa ah, sekali-kali kan boleh.
Hihihihi...
''Yang pesawat besar berapa mbak?'' ''Yang itu empat puluh liam ribu Dik'' Kaget aku, tapi uangku kan lima puluh ribu. Dapet dong, masih sisa lima ribu. Ah, coba ditawar lagi pikirku. ''Dua puluh lima ya Mbak'' ''Belum dapet Dik. Pasnya empat puluh ribu'' ''Empat puluh ya Mbak? Gimana kalo tiga lima aja mbak?'' Si Embak diem. Aku dag dig dug. Tapi akhirnya dia sepakat tiga puluh lima ribu.
Yes, senengnya aku.
Pulang dengan kemerdekaan tingkat jagat raya. Adik pasti seneng banget.
Ngebayangin Adik lari-lari bawa lampion ini rasanya pingin pinjem sayap
burung biar bisa terbang dan cepet sampe rumah. Hehe. Semangat pulang... Dengan semangat pejuang pulang dari medan perang.
Mengayuh sepeda dengan damai, itu yang kemudian aku lakukan. Kalem aja,
rumah udah deket. Lagian bawa lampion ini jadi pelan-pelan aja yang
penting selamet sampe di rumah. Jadi senyum-senyum sendiri membayangkan ekspresi Adik nanti. Duh, alangkah hebohnya...
Pertigaan dekat rumah. Ramai sekali karena jam orang pada pulang kerja. Berarti sudah sore ini.
Mau nyebrang ke kanan. Agak kegok juga karena bawa si pesawat. Tanpa ku
sadari ada benda yang lebih besar dariku dan si otong (baca:sepedaku)
menyenggol dari sebelah kanan. Dan bruuuukkkkk!
Aku terbanting
ke aspal. Lampion itu lepas dari tanganku. Aku panik. Lebih memikirkan
keselamatan si pesawat. Aku berusaha berdiri. Tapi tak bisa. Aku hanya
bisa tengkurap di atas jalan. Kurasakan darah segar mengalir dari
bibirku menetes di atas aspal yang berdebu itu. Sekian detik setelah itu
aku merasakan bibirku menebal sekian senti. Entahlah yang pasti perih
dan sakit.
Di kerumuni banyak orang membuatku panik. Aku masih
ingat tadi ada motor menyelipku dari sisi kanan. Oh, jadi yang
menyenggol ku tadi motor? Di mana sekarang? Pertanyaanku belum terjawab. Beberapa orang mengangkatku ke pinggir jalan.
''Lampion saya pak?'' jujur aku khawatir banget si pesawat itu rusak.
Aku mengumpulkan uang sakuku hanya untuk membelikannya lampion di Hari
Raya ini. ''Lampionnya nggak apa-apa kok '' jawab salah seorang yang meggotongku dan itu membuatku lega. Aku dibaringkan di emperan toko. Ada seorang ibu menawariku air putih. Inget lagi puasa aku menolaknya dengan sopan.
''Nama kamu siapa Dik'' tanya Om yang tadi menggotong kakiku. ''Winda Om'' Diam-diam di hatiku yang paling dalam aku sangat bersyukur, aku selamat dan cuma bibirku yang sobek sedikit. ''Rumah kamu di mana? Kita anter pulang ya?'' Aku lalu menerangkan di mana rumahku dan setelah merasa kuat aku meminta tolong untuk diantar pulang.
Om baik yang menolongku itu namanya Om Ari. Dia mengenalkan namanya
waktu membantu ku masuk ke mobilnya. Kinclong men, mobilnya. Halah,
Winda, bibir sobek juga masih bisa lihat mobil kinclong. Hhihihi.
Lumayan, naik mobil kinclong. Aduh Winda, kamu ini error bener dah.
Sakit pake acara lumayan...haduh jangan-jangan gara-gara nyeruduk aspal
tadi...? Hihihi aku cekikikan dalam hati.
Om Ari mulai menyetir
dengan hati-hati. Cukup pelan dan aku menikmati ademnya AC.
Wuah....sejuknya men... Eh. Tiba-tiba inget Lampion si Adik.
''Om lampion saya Om?'' ''Ini lampion kamu Winda''
Aku terbelalak melihat lampion pesawat yang tadi aku beli dengan penuh
perjuangan... Haaa? Sayap kanannya parah separoh. Ooh, sedihnya. Tapi
mau gimana lagi...? Hemmm...
Om Ari benyak bertanya tentang
aku. Sekolah ku, adik. Emak. BaPak. Hampir semuanya dia tanyakan. Sambil
menahan sakit aku jawab satu persatu. Om Ari mendengarkan seMua
ceritaku dengan baik. Aku bersyukur ketemu sama orang sebaik Om Ari.
Sudah baik kaya pula mobilnya kinclong dan harum lagi...
Sampai di rumah.
Emak dan Bapak geger tahu aku diantar orang pake mobil. Bapak yang
membawa sepedaku sudah sampe duluan. Aku berusaha tersenyum sebagai
ucapan terimakasih ku padanya karena sudah membawa pulang si otong, tapi
gagal. Bibirku susah digerakkan.
Semua orang berhamburan ke luar rumah. Termasuk para tetangga.
''Winda ketabrak'' bapak terpekik kaget.
''Winda nggak pa-pa kok'' jawabku berusaha menenangkan Bapak. Aku turun
di bantu Bapak. Kepanikan Bapak sukses berada di puncaknya melihatku
berdarah-darah. Ku lihat Adik berlari di belakang Emak. Duh, ketawanya
bikin pusingku hilang seketika. Meskipun tak mampu menghilangakn rasa
perih di bibirku.
Semua orang duduk di kursi tamu. Aku
berbaring di kursi panjang. Adik mengambilkan bantal untukku.
Aaauuuu...! Emak mengompresku dengan air panas. Haduuuhh...!
Pemandangan sekejap berganti. Adik berlari-lari membawa lampion barunya.
Aku seneng banget melihatnya. Syukur pada Allah Yang Maha Kuasa, masih
dibeli selamat.
Om Ari yang sudah menolongku dan mengantar
pulang berkenalan sama Emak dan Bapak. Setelah ngobrol kesana kemari Om
Ari pulang. Begitu juga dengan Pak Yanto yang tadi membawakan si Otong. Alhamdulillah si Otong sehat wal afiyat nggak ada yang penyok. Cuman lecet-lecet saja.
Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada Om Ari dan Pak Yanto.
Sebelum pulang Om Ari memberikan selembar amplop untukku. Aku terima
karena memang dia memaksa. Ku jabat tangannya erat sebagai ucapan
terimakasih.
Mereka pulang. Bapak mengantar sampai di depan
pintu sementara Emak masih sibuk merawatku. Oh, setiap kena kain
kompres itu rasanya benar-benar perih. Sakit.
''Pelan-pelan Mak'' kataku merintih. ''Walah Ndhuk, nanti kita ke dokter ya?'' ''Winda sudah sembuh kok Mak'' ''Bener kamu nggak apa-apa ndhuk?''
Aku mengangguk mentap. Cuma kaget aja kok. Yang penting adik seneng
sama lampion yang aku beli meskipun sayapnya yang kanan tinggal separoh.
Alhamdulillah.
Allah Memang Maha Baik. Malamnya aku membuka amplop dari Om Ari. Mulutku ternganga. Lima ratus ribu...
Ya Allah... Yang nyerempet ngabur yang nolongin kelewat baik. Iyaaa, aku hanya bisa bersyukur.
Anda sedang membaca artikel berjudul LAMPION UNTUK ADIK yang ditulis oleh Penulis Bajingan yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.
0 komentar:
Posting Komentar