Written By Unknown on Selasa, 12 November 2013 | 19.54
Warung
kampung itu sepi. Mang Ojo menjaganya sambil membaca. Kecamata bulat
plus 40, bertengger di batang hidungnya, merosot nyaris tiga senti
menjauhi mata.
Sedang begitu, terdengar motor berhenti. Mang Ojo angkat muka, pria
berjaket merah. Singgah ke warungnya, Mang Ojo berdiri menyambut.
Sebelum si tamu bicara, Mang Ojo langsung bertanya:"Kopi pak?"
"Tidak, ini mau menawarkan barang."
"Barang apa?"
"Permen!" Pria berjaket merah mengeluarkan permen dari kantongnya. Permen berbungkus kotak.
"Berapa harganya?"
"Dua ratus ribu. Tapi setiap pembelian tiga kotak permen ini, biasanya kami berikan lemari pendingin."
"Lemari pendingin?", mata Mang Ojo membelalak "Yang buat nyimpen minuman itu?"
"Ya"
"Wah, kebetulan, saya butuh! Ya sudah, saya beli 3 dus!"
Enam ratus ribu, lancar sekali Mang Ojo keluarkan. Terima kwitansi,
tanda tangan jadi, dan kata si Jaket merah: "Besok barangnya datang!
Bapak jangan ke mana-mana!"
"Baiklah, terima kasih!"
Mang Ojo bahagia.
Malam dia cerita pada istrinya, minuman di warungnya besok pasti lebih segar. "Kita mendapatkannya dengan harga murah!"
Besoknya dia tunggu. Biasa, sambil membaca. Tapi kini tak khusyuk.
Sebentar-sebentar, melihat ke jalan. Deru mesin di kejauhan beberapa
kali menipunya. "Ah, ternyata motor!"
Dan akhirnya, deru mobil terdengar juga. Majalah dia simpan, berdiri,
turun dari warung menyambut ke jalan. Mobil boks. Sepuluh meter lagi.
Maklum, jalan batu, jadi mobil telat sampai. Dia tatap wajah sopirnya.
Dia lambaikan tangannya. Si Sopir melirik, tapi lurus lagi melihat
jalan, tiba di depan warungnya, mobil tidak berhenti. Terus saja jalan.
Terus dan terus menjauh.
Ah, ternyata bukan. Ditunggu sampai siang, sampai sore, sampai besok,
sampei besoknya lagi, dua hari, tiga hari, satu bulan, dua bulan,
sekarang sudah 6 tahun. Mang Ojo sudah sadar, orang itu menipu. Tapi
warungnya makin maju. Dibangun pesantren di sampingnya. Jadi para
santri belanja ke sana.
Sorenya, nyaris mau nutup warung, terdengar deru motor. Mang Ojo
melihat ke jalan. Rupanya orang itu lagi. Datang langsung minta maaf.
Mang Ojo hanya bengong.
"Maaf sekali lagi maaf! Enam tahun lalu kami bermaksud mengantar lemari
pendingin itu. Tapi kehabisan stok. Kami berusaha mencarinya lagi ke
Ibu Kota, tapi tidak ada. Ditunggu dari tahun ke tahun, baru ada tahun
ini. Kami siap mengantarnya, tapi, sebab harga sudah naik dua kali
lipat, kami butuh tambahan dana."
"Berapa?" Tanya Mang Ojo.
"Harga totalnya 1,5 juta, tapi sebab ini kesalahan kami, jadi buat Bapak
saya beri 1,2 juta. Dan, karena dulu sudah masuk 600 ribu, sekarang
tinggal 600 ribu lagi."
"Baiklah." Mang Ojo menuju laci. 600 ribu diberikan lagi.
"Barang datang besok Pa. Tinggal bapak tunggu!"
Besoknya tidak datang. Besoknya lagi, besoknya lagi, lusa, tidak ada
juga. Mang Ojo sadar, dia tertipu lagi. Mang Ojo hanya bisa pasrah.
Begitu pula istrinya. Mereka ngobrol malam hari, ngobrol, dan ngobrol,
tiba-tiba bereka tertawa. Tertawa terbahak-bahak. Mang Ojo dan istrinya
sepakat: "Ketika orang itu menipu kita, dia malakukan perbuatan
memalukan. Ketika sekali lagi dia menipu kita, kitalah yang memalukan.
Wuakakakakak."
Kemudian, sebagai pencerita saya bertanya, apa sih ini lucunya?
Anda sedang membaca artikel berjudul TAWA RIANG DI RUMAH MANG OJO yang ditulis oleh Penulis Bajingan yang berisi tentang : Dan Maaf, Anda tidak diperbolehkan mengcopy paste artikel ini.
0 komentar:
Posting Komentar